“Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik
terhadap istri, dan aku adalah orang yang paling baik diantara sekalian terhadap
istri” (At-Turmudzi)
Suatu hari, dalam perjalanan pulang ke rumah.
Disela-sela kemacetan, saya melihat dengan jelas,seorang lelaki dengan kasar
menyuruh perempuan yang sedang diboncengnya untuk turun dari motor. Tampak sekali
perempuan itu ketakutan. Air matanya bercucuran, dengan gemetar hati-hati dia
turun. Rupanya yang menyebabkan lelaki itu kalap adalah tangisan rewel sang
bayi yang sedang digendong. Setelah menumpahkan sumpah serapah pada perempuan
tak berdaya itu, dengan seenaknya dia pergi.
Tinggallah perempuan itu kebingungan, menggendong
bayi mungil yang menangis tak kunjung berhenti. Dua ibu dalam angkot yang
sedang saya naiki, spontan turun. “Sabar ya dek, biarin aja si keparat itu
pergi” dengus si ibu berbaju biru. “Adek mau kemana? Sekarang adik pulang,
kasihan anaknya nangis terus” kali ini ibu yang berbaju hitam bertanya.
Perempuan itu gemetar, kelu lidahnya berujar “Ibu, boleh saya pinjam uang 500
untuk ongkos. Suami saya pergi begitu saja tanpa memberi uang”. Ibu-ibu tadi
spontan membuka tas dan memberinya uang. Dan air mata itu, melimpahi kami rasa
kasihan.
Hari lain, dalam bis yang mengantarkan saya ke
kampung halaman. Di sebelah saya duduk perempuan sederhana, berpakaian sangat
sederhana tanpa bawaan yang berarti, hanya mengepit tas kresek berwarna hitam.
Tapi yang tidak sederhana, sejak duduk tadi lirih mulutnya berucap “Laa hawlaa
Walaa Quwwata Illa billah”. Dalam kesempatan selanjutnya saya mengetahui ia
sudah berkeluarga dan mempunyai beberapa anak. Suaminya menganggur, dan ia yang
menanggung beban nafkah untuk keluarga dengan menjadi buruh kasar di pasar
kebayoran.
Tapi bukan itu yang membuat dia kurus kering dan
sakit-sakitan. Perilaku kasar suaminya yang sering menganiaya dan
melecehkannyalah yang membuatnya sangat tersiksa. Tanpa risih dia
memperlihatkan telapak tangannya yang melepuh akibat banyak sundutan rokok.
“Masya Allah, ibu” refleks saya menutup mulut dengan tangan kanan. Dia
tertunduk, dan air mata itu, tertumpah begitu mudah.
“Mbak, saya ditinggalin suami pas hamil 7 bulan”.
Dia mulai bercerita. “Suami saya tertarik wanita lain yang lebih cantik,”
tambahnya tanpa beban. Kini giliran saya memandangnya lekat, seorang perempuan
muda yang tegar, hati saya membatin. Saya mengenalnya baru beberapa bulan.
Selama itu saya mengagumi pergulatan hidupnya. Perempuan yang kuat, buktinya
sekarang dia membesarkan anak laki-lakinya yang berusia hampir setahun seorang
diri. Dia bekerja keras meski dengan pekerjaan yang tidak sebanding dengan
pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan si kecil.
“Kalau tidak ada anak ini, entahlah saya mungkin
sudah tinggal nama, mati bunuh diri,” tambahnya.
Saya kagum dengan ketegarannya, tapi ternyata
dugaan saya salah, beberapa menit kemudian ia terisak kecil selanjutnya tersedu-sedu.
Dan air mata itu, menganak sungai dipipinya yang tak pernah terlihat dipoles
bedak.
Saya meyakini masih banyak fenomena tidak
manusiawi yang dilakukan para suami terhadap istri. Lihat saja berita-berita di
media massa, itu baru yang terekspos. Padahal yang tidak muncul ke khalayak
ramai pasti lebih banyak lagi. Perlakuan tidak wajar bahkan kekerasan suami
terhadap istri bisa dikatakan persoalan internal rumah tangga. Sebuah aib,
sehingga sang istri harus memaksakan diri menelan bulat-bulat pil pahit
perlakuan suaminya. Saya pernah melihat seorang ibu yang pura-pura bilang baru
jatuh dari kamar mandi hingga memar cukup serius di muka tirusnya, padahal
banyak orang tahu dia baru saja dihajar sang suami tercinta.
Apa yang menyebabkan suami begitu tega terhadap
istrinya? Menurut saya, suami yang demikian tidaklah gentle, karena ia
berani hanya pada seorang perempuan. Perempuan yang seharusnya ia lindungi.
Perempuan yang seharusnya mendapatkan perlakuan yang baik karena telah begitu
banyak berjasa. Istri adalah perempuan yang mengandung anaknya dengan susah
payah dalam hitungan waktu yang tidak sebentar, setelah itu mempertaruhkan
nyawa untuk proses melahirkan. Istrinya yang menyediakan makanan untuk seluruh
keluarga, bahkan mungkin menyediakan telinga untuk menjadi pendengar yang baik,
menyediakan stock kata-kata yang menghibur ketika suami mendapatkan masalah,
bahkan mungkin solusi. Apakah ada alasan setelah istri berbuat yang terbaik
untuk keluarganya mendapatkan perlakuan yang sewenang-wenang?
Kepada para suami, ingatlah istri adalah sesuatu
yang istimewa. Sayangilah ia, karena ia adalah penyejuk mata, pembangun rumah
tangga yang menjelma surga. Bimbinglah istri dengan lemah lembut, karena ia
dicipta dengan banyak anugerah mulia. Jangan pernah mencampakkan istri, untuk
kondisi apapun, karena ia adalah ibu dari anak-anak yang kau bina secara
bersama. Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya, jangan pernah
meruntuhkan madrasah pembentuk karakter bangsa.
Sayangi ia, karena ibumu juga istri dari suami yang
menyayangi. Tersenyumlah untuk segala hal yang ia persembahkan kepadamu.
Berjanjilah untuk tidak membuatnya mengeluarkan air mata-air mata kedukaan.
Tirulah Rasulullah yang selalu berbuat baik kepada para istrinya. Dalam
hadistnya beliau menekankan “Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik
terhadap istri, dan aku adalah orang yang paling baik diantara sekalian
terhadap istri” (At-Turmudzi), Bahkan beliau pernah bersabda: “Barang siapa
yang menggembirakan seorang wanita (istri), seakan-akan menangis karena takut
kepada Allah. Barangsiapa menangis karena takut kepada Allah, maka Allah
mengharamkan tubuhnya dari neraka”.
Jadi kepada para suami, tunggu apa lagi? (Untuk
istri-istri sholehah, bersabarlah!)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar