Menikah dan membentuk keluarga yang sakinah, mawadah wa
rahmah (QS. Ar-Rum: 21) adalah dambaan semua orang. Siapapun yang menikah
dan membentuk bahtera rumah tangga, berharap akan bisa memiliki keluarga yang
harmonis. Kata harmonis memiliki makna keselarasan dan keserasian antara
suami, istri dan seluruh anggota keluarga. Selaras dan serasi, menunjukkan
suatu kesamaan tujuan dan cita-cita atau visi, walaupun kondisinya tidak
selalu sama. Mungkin saja ada hal yang berbeda, namun perbedaan terbingkai
dalam keselarasan dan keserasian.
Allah menciptakan
manusia dalam wujud yang indah (QS. At-Tin: 4), dan untuk mereka
Allah menciptakan pasangannya (QS. An-Nisa: 1). Secara naluriah, manusia
akan memiliki ketertarikan kepada pasangan jenisnya. Ada sesuatu yang
amat kuat menarik, sehingga laki-laki dengan dorongan naluriah dan fitrahnya
mendekati perempuan. Sebaliknya, dengan perasaan dan kecenderungan alamiyahnya
perempuan merasakan kesenangan terhadap laki-laki (QS. Ali
Imran: 14).
Untuk merealisasikan
ketertarikan tersebut menjadi sebuah hubungan yang benar dan
manusiawi, Tuhan memberikan tuntunan pernikahan (QS. An-Nisa’:
3). Pernikahanlah yang menyebabkan keserasian laki-laki dan perempuan
tersusun dalam kerangka yang bijak dan manusiawi. Tanpa melalui
pernikahan, hubungan dan ketertarikan antara lelaki dan perempuan tidak akan
mendapatkan penyaluran secara bermartabat. Ekspresi dari kecenderungan hubungan
lelaki dan perempuan akan menjadi liar dan destruktif.
Mengenal Diri Sendiri
Setiap manusia harus
meyakini dan mengetahui dengan jelas, bahwa kehadirannya di muka bumi adalah
untuk beribadah kepada Allah (QS. Adz-Dzariyat: 56). Seluruh aktivitas
kehidupannya, diam dan bergeraknya, tidur dan bangunnya adalah dalam rangka
ibadah (Al An’am: 162-163). Maka pernikahan harus diletakkan dalam bingkai yang
benar dan sakral, yaitu sebagai sarana peribadatan kepada Allah, untuk
melaksanakan tugas kemanusiaan dan peradaban (QS. Al-Baqarah: 30).
Sebelum melaksanakan
prosesi pernikahan, harus ada persiapan yang memadai dari kedua belah
pihak. Kesiapan menikah ditandai oleh mantapnya niat dan langkah
menuju kehidupan rumah tangga. Tidak ada rasa gamang atau keraguan tatkala
memutuskan untuk menikah, dengan segala konsekuensi atau resiko yang akan
dihadapi paska pernikahan.
Jika Anda seorang laki-laki, ada kesiapan dalam diri Anda untuk
bertindak sebagai pemimpin dalam rumah
tangga, untuk berperan sebagai bapak bagi anak-anak yang akan lahir
nantinya dari pernikahan (QS. An-Nisa’: 34). Ada kesiapan dalam diri Anda
untuk menanggung segala beban-beban kehidupan yang disebabkan oleh
karena posisi Anda sebagai suami dan bapak.
Jika Anda seorang
perempuan, harus ada kesiapan dalam diri untuk membuka ruang baru bagi
intervensi seorang mitra yang bernama suami. Kesiapan untuk mengurangi sebagian
otoritas atas dirinya sendiri lantaran keberadaan suami. Harus
ada kesiapan untuk hamil, melahirkan dan menyusui, juga kesiapan untuk
menanggung beban-beban baru yang muncul akibat hadirnya anak (QS.
Al-Baqarah: 233).
Pertanyaan mendasar
bagi Anda sebelum melaksanakan pernikahan adalah, sejauh mana kesiapan Anda
untuk memasuki kehidupan keluarga? Potensi dan kekuatan apa yang
telah Anda miliki untuk berumah tangga? Kelemahan dan kekurangan apa yang
ada pada diri Anda? Apa tantangan yang Anda hadapi? Bagaimana dukungan
keluarga dalam proses pernikahan Anda?
Berikutnya, dengan
mengenali berbagai potensi, kekuatan, kelemahan, maupun tantangan yang Anda
hadapi, Anda harus merumuskan matriks: bagaimana mengoptimalkan potensi dan
kekuatan yang sudah ada? Bagaimana mengatasi kelemahan dan kekurangan yang Anda
miliki? Bagaimana menghadapi tantangan yang menghadang di hadapan? Dari jawaban
tersebut, Anda bisa menetapkan batas kesiapan untuk menikah.
Menikah memerlukan
kejelasan visi, agar mampu menjalani kehidupan keluarga dengan arah dan
aktivitas yang benar dan terarah. Pernikahan visioner berbeda dengan pernikahan
pada umumnya, yang hanya mengandalkan hasrat biologis. Laki-laki dan perempuan
harus memiliki visi yang jelas tentang arah keluarga yang akan dibentuk. Mereka
memiliki pandangan yang terang tentang pengelolaan keluarga, sehingga tatkala
menjalaninya, mereka tidak kebingungan orientasi dan kehilangan arah.
Mengenal Calon Pasangan( Ta’aruf)
Mencari pasangan hidup
hendaklah berdasarkan pertimbangan keagamaan. Bukan semata kecantikan,
ketampanan, kekayaan, kedudukan, dan lain sebagainya. Pondasi agama harus
sangat kuat melandasi pemilihan calon suami maupun calon istri, agar tidak
terjebak dalam kubangan pilihan syahwat dan nafsu sesaat.
Di atas landasan
kriteria agama ini, bisa dibangun kriteria lainnya yang bercorak fisik. Tentu
saja boleh memilih suami tampan dan kaya, tentu saja boleh memilih istri yang
cantik dan seksi, namun itu bukan pertimbangan utama. Kriteria fisik dan materi
hanyalah tambahan nilai, dari nilai dasar yang sudah ditetapkan, yaitu kebaikan
agama. Maka laki-laki dan perempuan harus memperbaiki kualitas keagamaan
masing-masing, agar mereka layak mendapatkan jodoh yang baik pula kualitas
agamanya.
Mengenal calon pasangan bisa dilakukan melalui sebuah
proses ta’aruf (saling mengenal) antara laki-laki dan
perempuan yang berproses menuju jenjang pernikahan. Ta’aruf dimaksudkan dalam rangka saling mengenali dan
menjajagi kecocokan untuk meneruskan proses berikutnya. Hendaknya ta’aruf dilakukan dengan cara yang baik dan benar,
menghindarkan diri dari jebakan syahwat, menghindarkan diri dari berbagai
aktivitas yang terlarang menurut ketentuan agama.
Dalam proses ta’aruf,
laki-laki dan perempuan bisa mendiskusikan visi kehidupan berumah tangga, agar
keduanya bisa mendapatkan kesesuaian. Perbedaan karakter antara laki-laki dan
perempuan bukanlah halangan, karena hal itu tidak bisa dihindarkan, sebab
mereka memiliki kejiwaan dan struktur otak yang tidak sama. Perbedaan latar
belakang keluarga juga bukan halangan. Demikian pula perbedaan kultur dan suku
atau etnis, bukanlah penghalang kebahagiaan berumah tangga.
Yang paling utama
adalah kesediaan untuk saling melengkapi, saling mengisi, saling memberikan
yang terbaik, saling menerima apa adanya, saling berkomunikasi dengan nyaman,
saling mendialogkan permasalahan, saling mengalah, saling mencintai dan
menyayangi dalam segala kondisi dan situasi.
Wallahu a’lam bish shawab ( www.Dakwatuna.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar