Paru-paru yang sehat, dilahirkan dengan
sempurna oleh Bunda tercinta kini hitam legam terbakar. Asma
menggerogotiku, flek paru santapan sehari-hariku dan akhirnya kanker
paru parah menggigit habis bagian-bagian terpenting dalam paru-paruku.
Hatiku bukan lagi berwarna merah, dia
juga terbakar, menghitam bak bara yang hampir padam. Terbakar bukan
karena kemarahan dan rasa geram yang tertahan, tapi karena ia telah
teracuni oleh karbon monoksida.
Jangan tanyakan bagaimana jantungku, yang
semakin lama semakin lemah berdetak. Oksigen yang ia butuhkan tak lagi
bisa kuhirup dengan leluasa, karena darahku yang teracuni telah
pelan-pelan merusak fungsinya tanpa kusadari.
Ya, aku sakit karena asap rokokmu masuk
ke paru-paruku, meracuni sel-sel darahku hingga merusak bagian-bagian
penting dalam tubuhku!!!
Aku ingin berteriak pada mereka.
Hentikan! Tolong berhentilah merokok! Usiaku baru duapuluhan, usia
produktif yang bisa menghasilkan banyak prestasi, dan aku masih punya
banyak mimpi yang belum kuwujudkan.
Bagai bayangan yang tak bisa lepas
dari tubuhku, asap rokok mengelilingi di sepanjang hidupku. Asap itu
mengikuti kemanapun kakiku melangkah. Aku ingin lepas darinya, aku takut
berhadapan dengannya, aku alergi mencium baunya tapi itu sia-sia.
Keinginanku hanyalah mimpi yang takkan pernah bisa terwujud. Asap rokok
itu sepertu hantu!!
Itu teriakan yang ingin kuucapkan pada
setiap insan perokok yang pernah berhadapan dengan saya. Aku menjadi
perokok pasif, karena hampir di sepanjang usia produktif, aku selalu
berhadapan dengan para perokok. Entah itu saat aku berada di jalanan, di
gedung kantor, di ruang bawah tanah, di gedung tertinggi, di parkiran,
di mall bahkan saat berada di dalam ruangan yang ber air conditioner.
Dulu, seringkali tulisan “DILARANG
MEROKOK” justru dijadikan bahan candaan oleh mereka. Seakan tak bisa
membaca tulisan berukuran besar itu, mereka tetap saja dengan santai
menghembuskan asap mengisi seantero ruang meski air conditioner bersuhu 16 derajat sedang menyala dengan baik.
Di ruang kerja pun sama, semakin stress
mereka menghadapi tantangan yang sedang diberikan maka itu berarti aku
harus bersiap menjawab stress itu dengan menerima asap rokok mereka. Aku
dituntut mengerti atas kondisi mereka yang sedang penuh tekanan,
sementara mereka sama sekali tak mengerti kalau asap rokok mereka juga
meracuni tubuhku.
Ketika berada di dalam kendaraan umum,
meski sudah menunjukkan ketidaknyamananku dengan batuk-batuk kecil,
mengibas-ngibaskan tangan, tetap saja si perokok supercuek itu
memamerkan asap rokoknya dengan bangga. Malah pernah aku melihat seorang
perokok membuat bulatan-bulatan kecil dari asap rokoknya dengan penuh
kebanggaan. Ditegur bukannya sadar, mereka malah memarahi aku yang
memilih kendaraan umum. “Kalo mau enak, ya naik mobil sendiri dong!” Itu
kata mereka.
Di jalanan, aku harus pasrah menerima
keadaan. “Ini jalanan, hai perempuan! Udara adalah hak setiap orang,”
teriak si perokok tak peduli dengan peringatanku. Udara adalah hak
setiap orang, tapi racun dari asap rokokmu bukanlah kewajiban kami untuk
mendapatkannya.
Aku bisa mencuci rambut atau bajuku yang
berbau asap rokok setiap hari, tanpa bagaimana caraku mencuci racun yang
hari demi hari makin bertumpuk di tubuhku? Sebagus-bagusnya aneka
obat-obatan, aneka jamu ataupun minuman yang kugunakan “mencuci” racun
dalam tubuhku. Cara terbaik adalah tidak mendapatkan asap rokok yang
menyebabkan semua itu.
Bagi perokok, asap rokok adalah pengusir
kesepian, pereda kedinginan bahkan sebagai pengalih perhatian. Tapi
bagiku dia adalah setan perusak kesehatan, penghapus semua impian dan
pembunuhku suatu hari nanti.
Aku berusaha keras melindungi rumahku,
keluargaku dari asap rokok yang menjengkelkan. Kuminta Papa jangan
pernah menyentuh rokok, kumarahi adikku agar tak merokok, kupilih suami
yang bukan perokok dan kelak akan kuwasiatkan pada anak-anakku, jangan
pernah merokok. Bukan hanya karena aku peduli kesehatan mereka, tapi
juga karena aku tak mau mereka kelak menanggung dosa seumur hidup sebab
telah membunuh banyak orang tanpa pernah kau sadari.
Siapa yang akan kumintai
pertanggungjawaban saat dokter memvonisku dengan komplikasi penyakit?
Paru-paruku, jantungku, hatiku dan kini perutku semua rusak karena asap
rokok. Aku ingin menjerit dan ingin berteriak marah.
Salahkah permohonanku? Tolong, jauhkan asap rokok itu dariku!!! Jauhkan mesin pembunuh nomor satu itu dariku!
Aku ingin hidup, aku ingin sehat, aku
ingin mewujudkan mimpi-mimpiku. Aku punya jutaan alasan untuk tetap
bertahan hidup, aku tak perlu rokok untuk membantuku kuat menjalani
hidup, aku tak perlu rokok untuk mengalihkan perhatian dari penderitaan,
aku tak perlu rokok untuk mengusir kebingunganku. Aku sanggup hadapi
semua itu tanpa rokok di tanganku.
Beri aku alasan, kenapa kau tak takut fatwa haram yang mengiringi setiap rokok yang kau isap?
Beri aku alasan, ketika setelah beribadah
kau memilih tetap membunuh orang lain dengan menghembuskan asap rokokmu
meski itu dosa yang sama?
Beri aku alasan, apa salahku hingga kau membagi asap pembunuh padaku? Beri aku alasan!!! Beri aku alasan!!!
Jangan kau salahkan pabrik rokok karena
ia takkan ada tanpa permintaan! Jangan kau salahkan aku yang tak bisa
diam di rumah saja! Jangan salahkan pemerintah yang terlalu bodoh
memberikan izin! Karena ini semua salahmu, salah setiap orang yang
merokok!
Bagaimana kalau aku putrimu? Bagaimana
kalau aku istrimu? Bagaimana kalau aku Ibumu? Bagaimana kalau aku
saudarimu? Tegakah kamu membunuh keluargamu sendiri? Dengan tanganmu
yang melinting rokok, dengan mulutmu yang menghembuskan asap.
Aku sakit karena asap rokokmu!!
http://bundaiin.blogdetik.com/2012/06/01/aku-sakit-karena-asap-rokokmu/
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar