Eramuslim.com
| Media Islam Rujukan,
Siang itu Nadia minta waktu untuk
konsultasi kepada guru ngajinya. Kepada Mbak Fida, begitu ia biasa memanggil
guru ngajinya, Nadia mulai mengadukan permasalahannya, bahwa sampai saat ini ia
belum bisa sepenuhnya 'cinta' kepada Ahmad, suami yang baru menikahinya dua
bulan lalu.
"Memangnya ada apa dengan
Ahmad, Nad?" Hati-hati Mbak Fida bertanya. Maka meluncurlah dari mulut
Nadia; "Ya sebenarnya Mas Ahmad itu baik, tapi ada sesuatu yang bagi saya
kurang, mbak. Mestinya seorang aktifis pengajian itu hidupnya teratur, tertib,
nggak pernah ketinggalan sholat jama'ah di masjid, nggak absen sholat lail,
tilawahnya 1 juz setiap hari, selalu bersikap lembut kepada istri, sabar, rapi,
bisa jadi teman diskusi dan curhat istri, sempat ngajarin istri, nggak suka
nonton tivi, bisa ngambil hati mertua, begitu kan mbak?"
Sambil membenahi buku-bukunya yang
berantakan (istrinya sedang keluar rumah dan sepulangnya dari kantor Farhan
mendapati rumahnya dalam keadaan 'porak poranda'), Farhan berkata pada dirinya
sendiri, "aku pikir menikahi seorang perempuan berjilbab berarti urusan
rumah tangga jadi beres. Mestinya istri itu bisa masak, terampil ngurus rumah,
ibadahnya oke, pinter melayani suami, sabar, rajin, lembut, nyambung diajak
diskusi, jago ngambil hati mertua...
Nadia dan Farhan boleh jadi mewakili
sosok sebagian kita yang memasuki gerbang pernikahan dengan segunung
angan-angan tentang sosok pasangan ideal. Tipikal seperti ini biasanya telah
memiliki idealisme sendiri tentang pasangan, jauh sebelum hari pernikahan tiba.
Idealisme itu begitu menguasai pikiran dan jiwa hingga terus terbawa sampai
mereka menikah, dan ketika setelah menikah ternyata pasangannya tidak
sebagaimana idealismenya, mereka kecewa dan kemudian cenderung menyalahkan
keadaan atau pihak lain.
Memang sah-sah saja kita memiliki
idealisme, termasuk idealisme tentang kriteria pasangan. Sayangnya, kebanyakan
kita menyangka bahwa sebuah idealisme dapat turun begitu saja dari langit dan
menjelma di hadapan kita. Padahal dengan demikian idealisme kita itu akhirnya
malah menjadi angan-angan belaka.Idealisme tentang apapun tidak akan terwujud
menjadi kenyataan jika tidak diperjuangkan.
Perhatikanlah firman Allah SWT dalam
Surat An-Nisaa' ayat 123:
"Pahala dari Allah itu bukanlah
menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak pula menurut angan-angan ahli
kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan niscaya akan diberi balasan
dengan kejahatan itu dan dia tidak mendapat pelindung dan tidak pula penolong
baginya selain Allah."
Kembali kepada Nadia dan Farhan,
idealisme mereka tentang kriteria pasangan telah menjadi angan-angan. Mereka
mengira dengan menikahi seorang aktifis pengajian atau seorang perempuan
berjilbab semua urusan menjadi beres, kehidupan rumah tangga menjadi penuh
bunga harum semerbak mewangi, tidak ada kerikil apalagi ombak, pokoknya indah
seperti yang dilukiskan dalam buku-buku. Angan-angan itu akan membuat mereka
kecewa. Ya, sebabnya adalah seperti kata pepatah, 'tak ada gading yang tak
retak' atau 'nobody's perfect' (tak ada orang yang sempurna). Tidak ada manusia
yang ma'shum (terjaga dari salah dan dosa) kecuali Rasulullah SAW. Semua
manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, tidak ada manusia yang pada
dirinya hanya terdapat kelebihan saja, sebagaimana juga tidak ada manusia yang
di dalam dirinya hanya ada kekurangan. Karena itu membayangkan pasangan kita
adalah sesosok manusia tanpa cela hanya karena ia ikhwan atau berjilbab,
menurut saya adalah pandangan kurang bijak.
Seorang ikhwan atau perempuan
berjilbab adalah manusia biasa. Komitmen dan ketaatan mereka dalam beragama
adalah suatu bentuk kesungguhan mereka dalam memproses diri menjadi Hamba Allah
yang bertaqwa. Dan merupakan hal yang sangat manusiawi jika dalam menjalani
proses tersebut terdapat kekurangan-kekurangan. Karenanya menjadi aktifis
pengajian atau perempuan berjilbab itu bukanlah berarti mereka berubah menjadi
malaikat yang tidak pernah melakukan kesalahan dan tidak pula berarti mereka
menjelma menjadi manusia tanpa cela.
Rumah tangga bahagia yang menjadi
syurga bagi penghuninya adalah idaman setiap orang. Tetapi ia akan sekadar
menjadi angan-angan bila tidak ada upaya dan perjuangan dari kedua belah pihak
-suami-istri- untuk mewujudkannya. Begitu pula halnya dengan keinginan memiliki
dan menjadi pasangan ideal yang diidamkan. Ia pun hanya menjadi angan-angan
selama kita tidak berusaha memprosesnya menjadi kenyataan. Oleh sebab itulah
pernikahan sebenarnya merupakan ladang amal dan jihad bagi orang-orang yang
menjalaninya.
Dari uraian diatas kita dapat
menyimpulkan beberapa hal:
- Harus disadari bahwa yang bernama
idealisme itu tidak begitu saja turun dari langit, tetapi harus diperjuangkan.
Dengan begitu ketika kita memiliki idealisme tentang pernikahan dan pasangan
ideal misalnya, kita sadar bahwa untuk mewujudkannya menjadi kenyataan adalah
dengan memperjuangkannya atau dengan kata lain kita siap menjadikan pernikahan
kita nantinya sebagai ladang amal dan jihad kita dalam memproses diri menjadi
lebih berkualitas.
- Menyadari bahwa idealisme yang
menguasai pikiran dan jiwa dapat berkembang menjadi angan-angan belaka. Menikah
dengan membawanya serta hanya akan membuat kita menjadi pelamun, mudah kecewa,
cenderung tidak bersyukur terhadap apa yang ada, bahkan menjadi orang yang suka
menyalahkan keadaan atau pihak lain.
- Ingatlah selalu bahwa kita menikahi
pasangan kita dengan segala apa yang ada pada dirinya berupa kelebihan dan
kekurangannya. Kelebihannya untuk disyukuri, kekurangannya menjadi ladang jihad
kita untuk memperbaikinya karena Allah. Dengan begitu kita tidak akan mudah
kecewa terhadap segala kekurangan yang terdapat pada pasangan kita.
- Terakhir, camkan kata-kata ini ...
"Jangan menikah dengan angan-angan."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar