Halaqah,
atau yang biasa disebut pengajian, usrah, liqa, or something like that,
merupakan kebutuhan kader dakwah dalam memenuhi kebutuhan tarbiyahnya. Karena
bagaimanapun, tarbiyah dan dakwah sudah seperti dua sisi mata uang yang saling
berkelindan. Tarbiyah tanpa dakwah, sama halnya melihat tapi lumpuh. Kuat
kepemahamannya, tapi lemah kebermanfaatannya. Sebaliknya, dakwah tanpa tarbiyah
sama seperti berjalan namun buta. Makanya, kalau ada kader dakwah yang eksis
tapi malas liqa, pasti gerak dakwahnya banyak yang ‘nabrak-nabrak’.
Untuk
mencapai kesuksesan dalam tarbiyah, seorang kader dakwah mesti memahami mengapa
dirinya penting mengikuti agenda pekanannya tersebut. Karena kesalahan dalam
memahami liqa akan berdampak pada hasil tarbiyah yang ia raih.
Beberapa Keistimewaan Halaqah
Sebelumnya,
seorang kader dakwah perlu memahami bahwa liqa bukanlah satu-satunya sarana
tarbiyah. Ia hanya salah satu dari sekian banyak penopang tarbiyah, seperti
mabit, mukhayyam, daurah, tatsqif, dan lainnya. Akan tetapi liqa tidak dapat
disamakan dengan penunjang tarbiyah yang lain. Dalam pelaksanaannya saja sudah
sepekan sekali, lebih rutin. Sementara penunjang lainnya merupakan
agenda-agenda tambahan yang dilaksanakan kondisional, sesuai kebutuhan.
Artinya, sudah tentu yang rutin ini mendapat prioritas dan perhatian lebih
ketimbang sarana tarbiyah lainnya.
Analoginya
seperti bakso. Jika di mangkuk ada bakso tapi tidak ada bihun-toge-sawi, tetap
saja makanan di mangkuk itu disebut bakso. Tapi lain jadinya jika di mangkuk
ada bihun-toge-sawi, tapi justru tidak ada baksonya, maka makanan di mangkuk
itu tidak akan pernah disebut sebagai bakso. Karena keberadaan bihun-toge-sawi
hanyalah sebagai pelengkap yang menunjang inti dari semangkuk bakso. Kalau
baksonya tidak ada, rasanya keberadaan bihun-toge-sawi akan menjadi sia-sia
adanya. Seperti itulah kaitan liqa yang sebagai agenda inti dengan penunjang
tarbiyah lainnya.
Mungkin
sebagian orang ada yang bertanya, “Mengapa harus liqa? Mengapa bukan dengan
sarana yang lain saja?” Untuk mendapatkan jawaban tersebut, sekarang mari
menelaah apa saja kelebihan liqa yang tidak dimiliki oleh sarana lainnya. Sudah
pasti penelaahan ini dilihat dari keefektifan daya ubah yang dihasilkan dan
dirasakan oleh para mad’u itu sendiri.
Pertama,
liqa itu memiliki jadwal yang rutin. Pelaksanaan liqa idealnya sepekan sekali.
Itu merupakan jadwal yang proporsional. Karena ketika terlalu jarang, tentu
tidak baik. Jadwal yang jarang dan sering bolong tidak akan memberikan dampak
perubahan yang signifikan lantaran tidak memunculkan chemistry-chemistry di
antara Murabbi-Mutarabbi ataupun Mutarabbi-Mutarabbi.
Pesan
dakwah yang disampaikan seorang ustadz akan sulit diterima jika tidak ada usaha
untuk membangun kedekatan dengan para mad’u-nya. Untuk itu,
intensitas pertemuan sepekan sekali tersebut diharapkan dapat memangkas
jarak-jarak yang sebelumnya ada. Seperti kata pepatah jawa, Witing
tresno jalaran soko kulino, cinta ada karena terbiasa.
Kemudian
sebaliknya, kalau jadwalnya terlalu sering, misalnya dalam sepekan ada
pertemuan lebih dari sekali, ini juga kurang baik. Karena dikhawatirkan
munculnya kejenuhan pada diri Mutarabbi ataupun Murabbi. Bagaimanapun, mereka
tetaplah manusia biasa yang tak luput dari rasa bosan. Waspadalah, karena
kejenuhan itu bisa mengurangi kualitas keikhlasan pada diri seseorang! Justru
adanya pertemuan sepekan sekali itu dapat melatih para anggota liqa untuk
bersabar. Selain itu, waktu sepekan sekali mampu menghadirkan rasa penasaran
dan rindu untuk selalu bertemu.
Kedua,
liqa itu merupakan wujud “jama’ah kecil” yang bisa menjaga
seseorang dari kekufuran. Seringkali ada pertanyaan, “Bagaimana caranya agar
kita istiqamah?” Sebenarnya jawabannya sederhana. Selain faktor internal, yaitu
menjaga kualitas keimanan pribadi, ada pula faktor eksternal yang berasal dari
lingkungan. Karena bagaimanapun kondisi lingkungan sedikit banyak akan
memengaruhi kondisi seseorang di dalamnya. Dan ini pun terjadi bagi aktivis
dakwah yang mengisi hari-harinya dengan dakwah. Saat itu tentu dirinya sering
bersinggungan dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Maka ada saja
dampaknya, baik kecil ataupun besar. Bisa jadi mula-mulanya muncul rasa malas.
Lalu mulai kendur semangat dakwahnya. Kemudian kalau sudah parah, bisa-bisa
kemungkinan terburuk pun terjadi.
Mungkin
kekhawatiran ini berlebihan, tapi biarlah. Daripada bersikap permisif yang
akhirnya berakhir fatal. Bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati?
Bukankah penyakit-penyakit mematikan juga biasanya diawali dengan gejala-gejala
yang sering dianggap sepele?
Maka
dari itu, keberadaan jama’ah sangatlah penting bagi seorang
aktivis dakwah. Karena ketika dirinya berada pada sebuah jama’ah, maka
dirinya akan diingatkan di saat ia lupa. Ia pun dikuatkan ketika ia lemah. Kala
itu, keberadaan jama’ah ibarat oase di padang pasir. Ia pun
laiknya pom bensin pemulih bahan bakar keimanan yang membuat langkah-langkah
para aktivis dakwah semakin lesat lajunya.
Ada
pula pertanyaan, “Sebetulnya faktor besar perubahan ada pada pembinaan diri
sendiri. Ini kita kenal dengan istilah tarbiyah dzatiyah. Lalu buat
apa liqa kalau sudah melakukan tarbiyah dzatiyah?” Ini sangat
menarik. Mengingatkan konsep dasar bahwa manusia adalah makhluk sosial yang
tidak bisa berdiri sendiri. Begitu pula dalam tarbiyah. Jika liqa, sebagai
wujud tarbiyah jam’iyah, tidak diiringi dengan tarbiyah dzatiyah, maka
yang terjadi adalah seperti mobil mogok yang didorong orang banyak. Sulit
bergerak karena dari mobilnya sendiri tidak ada bahan bakar (baca: motivasi
kesadaran) untuk bergerak. Pun demikian, mobil itu akan tetap bergerak, meski
progresnya sedikit dan menghabiskan banyak tenaga tentunya.
Lalu
apa yang terjadi saat menjalankan tarbiyah dzatiyah tanpa
dibarengi tarbiyah jam’iyah? Seperti panah yang melesat tanpa arah
lantaran memang tidak ada yang mengarahkan. Hasilnya adalah meleset dari tujuan
yang seharusnya. Bagaimanapun tidak ada orang yang mampu menilai dan
mengevaluasi dirinya sendiri. Seorang murid di sekolah pun memerlukan seorang
guru untuk menilai kemampuannya. Seorang presiden pun memerlukan rakyat sebagai
penilai kesuksesan pemerintahannya. Inilah bukti bahwa setiap itu memerlukan
orang lain.
Kalaupun
ada orang yang bisa menilai dirinya sendiri, rasanya terlalu naif dan sangat
subjektif. Apakah dirinya dapat menjamin kemurnian dari penilaian itu? Ataukah
penilaian itu lebih sekadar corak kesombongan dan keegoisan belaka? Perlu
diketahui, bahwa output tarbiyah tidaklah melahirkan kesombongan
maupun keegoisan. Manakala dua sifat itu muncul pada diri seseorang, maka bisa
dikatakan ada yang tidak beres dengan proses tarbiyahnya. Maka dari itu, dalam
pelaksanaan tarbiyah, seorang kader dakwah perlu ada seseorang (Murabbi)
sebagai pendamping yang nantinya akan mengevaluasi dan melakukan proses
pengarahan sesuai dengan marhalah (tingkatan) tarbiyah
dirinya.
Ketiga,
liqa merupakan proses dakwah-tarbiyah yang menerapkan sistem komunikasi antar
pibadi. Inilah yang menjadi indikator mengapa liqa lebih menghasilkan perubahan
positif yang signifikan, terukur, dan terarah daripada taklim-taklim pada
umumnya. Jika pada taklim seorang ustadz harus berhadapan dengan puluhan, atau
bahkan ratusan orang, maka yang terjadi saat itu adalah komunikasi yang
bersifat satu arah. Para mad’u tidak leluasa bertanya dan
ustadz pun tidak mungkin menjawab seluruh pertanyaan atau memenuhi seluruh
kebutuhan para mad’u-nya, apalagi memantau perubahan mereka atas
hasil ceramah dirinya.
Sementara
itu, liqa terdiri dari beberapa orang (umumnya maksimal 10) saja yang membentuk
sebuah kelompok kecil. Dalam kelompok tersebut, seorang ustadz lebih memiliki
kesempatan untuk melakukan komunikasi dua arah kepada para mad’u. Hal
ini terlihat dari adanya feedback dari mereka, seperti berupa
pertanyaan, sanggahan, ataupun cerita-cerita lainnya. Jelas ini berdampak
positif. Sang ustadz akan mudah membangun kedekatan dengan mereka. Lalu sang
ustadz pun akan lebih mudah memahami karakter mad’u-nya satu persatu,
hingga kemudian dirinya mampu menentukan cara yang tepat untuk mendakwahi
mereka. Selain itu, kecilnya jumlah mad’u memudahkan ustadz
untuk memantau keberhasilan mereka dalam memahami dan menjalankan pesan-pesan
yang telah disampaikannya.
Keempat,
liqa memiliki sistem kurikulum madah (materi) yang runut dan
sistematis. Berbeda halnya dengan sarana lainnya yang lebih bersifat general.
Liqa sudah seperti sekolah yang menyediakan asupan-asupan “gizi” sesuai dengan
tingkatan kepemahaman para mad’u. Tidak mungkin jika anak SD
dikasih soal anak SMP. Karena pasti anak itu bingung. Begitu pula anak SMP,
tidak mungkin diberi soal anak SD. Karena itu tidak memberi perkembangan
apa-apa kepadanya.
Adanya
kurikulum materi yang runut dan sistematis memberikan pengertian bahwa
dakwah-tarbiyah ini memiliki tujuan dan arah yang jelas. Bayangkan, apa jadinya
jika dakwah ini dilakukan asal-asalan dan tidak terstruktur dengan baik? Sudah
tentu produk yang dihasilkan juga tidak baik. Materi dalam liqa dibuat
sedemikian rupa agar dapat dipahami dengan baik oleh para mad’u,
sehingga mereka memahami Islam ini sebagai kesatuan sistem utuh dan menyeluruh.
Laiknya
membangun rumah yang kokoh, tentu diawali dengan membuat pondasi, dinding, dan
atapnya. Oleh sebab itu, dalam dakwah-tarbiyah pertama kali yang perlu dibangun
adalah kekokohan aqidah. Karena aqidah adalah pondasi bagi setiap muslim. Baru
setelahnya membangun sisi-sisi yang lain. Contoh, tidaklah mungkin
seorang mad’u diberi materi keutamaan sedekah jika sebelumnya
tidak dijelaskan tentang materi sabar dan syukur. Tidak pula mereka dikasih
materi yang besar jika tidak diawali dengan materi yang kecil dan pokok. Lihat
saja kasus-kasus terorisme yang pernah ada. Mereka mengamalkan jihad, tetapi
tidak didasari oleh pemikiran yang sebagaimana mestinya. Alhasil, banyak hal
yang disayangkan selepas peristiwa teror itu terjadi. Niat dan semangat mereka
bagus, hanya saja pelaksanaannya yang kurang tepat.
Ruhiyah, Inti Sel Halaqah
Sekali
lagi ada pertanyaan menarik, “Apa sebenarnya yang membuat liqa ini berkesan,
sehingga banyak kader dakwah yang menekuninya hingga sekarang?”
Spirit
liqa bukanlah terletak pada apa yang terdapat pada baramij-nya (susunan
acara), seperti tilawah, tadabur ayat al-Qur’an, kultum, muraja’ah hapalan,
materi, diskusi, qadhayah, dan do’a. Semua itu memang dibutuhkan
kader dakwah guna menunjang perkembangan dirinya. Namun sekali lagi,
keberadaan baramij itu sendiri sebetulnya adalah kondisional,
bukan suatu hal yang saklek atau tidak dapat diubah. Semua itu disusun sesuai
kebutuhan.
Terlebih,
poin-poin pada baramij liqa itu sebetulnya masih bisa
didapatkan di luar liqa setiap harinya! Do’a, tilawah, tadabur,
dan muraja’ah al-Qur’an, adalah kegiatan yang tidak sepatutnya
ditinggalkan kader dakwah setiap harinya. Diskusi, materi, maupun kultum masih
bisa didapatkan dengan cara banyak membaca buku atau menghadiri forum-forum
diskusi. Qodoyah pun bisa ditanggulangi dengan cara lain,
seperti menulis unek-unek atau curhat pada teman.
Itu
sebabnya semangat liqa bukanlah terletak pada baramij, melainkan
pada kesadaran untuk TRANSFER RUHIYAH yang ada pada diri setiap anggota liqa.
Di sinilah terjadi pertukaran dan penyulutan semangat antara satu anggota
dengan anggota lain dalam liqa.
Di
kala ada seorang anggota yang turun semangatnya, ketika datang liqa, dirinya
bertemu dengan Murabbi dan para sahabat yang menerimanya dengan tulus dan penuh
energi. Entah energi apa itu. Yang jelas energi itu dapat kembali mengisi
pundi-pundi hati yang semula kosong atau tidak penuh menjadi full terisi.
Ada ‘sesuatu’ yang bisa didapatkan. Rasanya nikmat dan menghantarkan semangat
untuk menjalani hari-hari sepekan ke depan.
Terkadang
energi itu dapat dirasakan lewat senyuman, sentuhan, jabatan tangan, pelukan,
atau bahkan teduhnya wajah dan tatapan mereka. Energi misterius itulah yang
membuat setiap pertemuan liqa selalu memberikan kesan tersendiri,
meskipun baramij di setiap pekannya sama saja. Karena sebanyak
apa pun baramij tersebut, ketika tidak berusaha menghadirkan
energi ruhiyah, maka liqa yang berjalan pun akan terasa hambar, tidak membekas,
dan melelahkan.
Mari
dedah lebih dalam. Dakwah-tarbiyah ini merupakan permainan hati. Kalau begitu,
sudah pasti keberhasilannya ditentukan oleh yang Maha Menguasai Hati, bukan?
Untuk dapat memenangkan permainan hati ini, sudah tentu para pelakunya perlu
menyertakan hati seutuhnya untuk yang Maha Menguasai Hati. Karena hanya yang
Maha Menguasai Hatilah yang mampu memenangkan hati setiap orang.
Untuk
itu, agar liqa menjadi berkah, perlu kiranya setiap anggota di dalamnya
(khususnya Murabbi) menjaga kondisi ruhiyahnya. Seorang Murabbi ibarat nahkoda
kapal yang semestinya meyakinkan dan menguatkan para awaknya kala menghadapi
badai-badai kehidupan. Jika nahkodanya sudah panik atau goyah, lantas bagaimana
kapal itu akan tetap selamat berlayar? Pun begitu, para Mutarabbi pun perlu
menjaga kondisi ruhiyah mereka. Karena untuk menjalankan kapal tersebut,
kelihaian seorang nahkoda tak cukup berarti jika para awaknya pesakitan dan
lemah semangatnya.
Allahu a’lam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar