Ibu
adalah madrasah –tempat belajar- yang pertama dan utama bagi anak
Bila
baik madrasahnya, baik pula anaknya
Bila
rusak madrasahnya, rusak pula anaknya
-anonim-
Kisah
Sang Imam dan Ibunya
Saudaraku
yang semoga senantiasa dijaga oleh Alloh ta’ala. Apakah Anda mengenal Imam
Syafi’iy? Benar. Beliau adalah seorang ‘alim yang menjadi imam bagi
banyak ulama. Madzhabnya dianut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia. Nama
lengkapnya Muhammad bin Idris bin al-’Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin as-Saib
bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin
Qushay. Pada usia 7 atau 9 tahun beliau hafal al Qur`an 30 juz. Tidak lama
setelah itu beliau hafal kitab al-Muwattha’, karya Imam Malik yang
berisi lebih dari 1.700 hadits dan atsar. Pada usia 15 tahun beliau sudah
mendapatkan lisensi dari guru-gurunya untuk berfatwa. Beliau merupakan pelopor
ilmu ushul fiqh dengan kitab ar-Risalah. Beliau meninggal dunia pada
usia 54 tahun dan meninggalkan karya-karya yang sangat berharga bagi umat islam
sejumlah lebih dari 170, ada yang mengatakan 200. Itulah riwayat singkat Imam
Syafi’iy yang sangat masyhur.
Saudaraku,
tahukah Anda, siapa orang yang paling berjasa membentuk kepribadian Imam
Syafi’iy hingga menjadi seorang ‘alim yang sangat hebat seperti itu?
Imam
an-Nawawi pernah menceritakan bahwa ibu Imam Syafi’iy adalah seorang wanita
berkecerdasan tinggi tapi miskin. Beliau juga seorang yang tekun beribadah dan waro’.
Ibu Imam Syafi’iy merupakan single parent karena ayah Imam Syafi’iy yang
bernama Idris meninggal dunia ketika Imam Syafi’iy masih di dalam kandungan
sang ibu. Jadi Imam Syafi’iy ini yatim sejak lahir. Namun demikian, bisa dikatakan
bahwa totalitas sang ibu dalam mendidik sang anak lah yang menjadikan Imam
Syafi’i menjadi ilmuwan sejati.
Sang
Ibu membesarkan Imam Syafi’iy dengan penuh kasih sayang serta dorongan yang
kuat terhadap ilmu. Sang Ibu mengirimkan anaknya untuk belajar agama kepada
seorang Syeikh di Makah. Melihat kecerdasan Imam Syafi’iy, sang syeikh pun rela
tidak dibayar. Di rumah, sang Ibu senantiasa mendorong dan memberikan semangat
kepada Imam Syafi’iy untuk belajar. Dikisahkan bahwa sang Ibu mengurung Imam Syafi’iy
di dalam suatu kamar dan membolehkannya keluar setelah Imam Syafi’iy menambah
hafalan al-Qur`annya.
Ketika
berusia 15 tahun, Imam Syafi’iy minta izin kepada sang Ibu untuk merantau demi
mendalami ilmu agama. Pada awalnya sang Ibu merasa keberatan karena Imam
Syafi’iy adalah anak semata wayang. Namun akhirnya sang ibu pun memberikan
izin.
Sang
Ibu mengantar kepergian putra kesayangannya yang telah jatuh cinta kepada ilmu
agama dengan sebuah doa;
“Ya
Allah Tuhan yang menguasai seluruh alam! Anakku ini akan meninggalkan aku untuk
berjalan jauh, menuju keridhaanMu. Aku rela melepaskannya untuk menuntut ilmu
pengetahuan peninggalan Pesuruhmu. Oleh karena itu aku mohon kepadaMu ya Allah,
permudahkanlah urusannya. Jagalah keselamatannya, panjangkanlah umurnya agar
aku dapat melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh dengan ilmu
pengetahuan yang berguna, amin!”
Setelah
berdoa, sang Ibu berpesan kepada Imam Syafi’iy muda;
“Pergilah
anakku. Allah bersamamu. Insyaallah engkau akan menjadi bintang Ilmu
yang paling gemerlapan dikemudian hari. Pergilah sekarang karena ibu telah
ridha melepasmu. Ingatlah bahwa Allah itulah sebaik-baik tempat untuk memohon
perlindungan!”
Di
kemudian hari, Imam Syafi’iy pun semakin terkenal sebagai seorang yang sangat ‘alim,
ahli dalam bidang bahasa Arab, tafsir, hadits, dan terutama fiqh.
Itulah
sekilas kisah bagaimana besarnya peran seorang Ibu dalam membentuk kepribadian
anak yang berakhlaq mulia dan memiliki kecintaan yang besar kepada ilmu agama.
Ibu:
Madrasah yang Pertama dan Utama
Ibu
lah yang mengandung anak selama sembilan bulan. Ibu lah yang menyusui anak
selama dua tahun. Ibu lah yang menghabiskan banyak waktu dengan anak sampai si
anak beranjak remaja. Jika selama waktu itu sang ibu menyusui anaknya dengan
keimanan, menyuapi anaknya dengan ajaran agama islam, menghiasi anaknya dengan
pakaian akhlaqul karimah, menanamkan di hati anaknya kecintaan kepada ilmu
agama, senantiasa membisikan ke telinga anaknya bacaan al-Qur`an, dzikr kepada
Alloh dan sholawat kepada Rosululloh, besar kemungkinan si anak anak tumbuh
menjadi anak yang kuat imannya, cerdas agamanya, mulia perilakunya, dan siap
menghadapi segala tantangan yang dihadapinya ketika dia beranjak remaja dan
dewasa.
Sebaliknya,
jika sang Ibu menyusui anaknya dengan kekufuran, menyuapi anaknya dengan ajaran
syetan, menghiasi anaknya dengan perilaku yang bejat, menanamkan di hati
anaknya kecintaan kepada dunia, senantiasa berbicara kepada anaknya dengan
perkataan-perkataan yang kasar dan buruk, maka besar kemungkinan si anak akan
tumbuh menjadi anak yang jauh dari Alloh dan Rosululloh, hatinya kosong,
imannya lebih tipis daripada kulit ari, bodoh dalam ilmu agama, tidak mengerti
yang halal dan yang haram, mudah tertipu oleh syetan, baik yang berbentuk jin
dan manusia, hingga menjadi anak yang durhaka, menyengsarakan orang tuanya di
dunia dan akhirat. Na’udzu billahi min dzalik.
Saudaraku
yang semoga senantiasa dijaga oleh Alloh ta’ala. Inilah dasar pendidikan dalam
agama Islam. Pendidikan yang berbasis keluarga. Jika ingin memperbaiki suatu
kaum, maka mulailah dengan memperbaiki para wanita. Karena mereka adalah
madrasah –tempat belajar- yang pertama dan utama bagi anak-anak mereka. Jika
para wanitanya baik, sholihah, inysaalloh lebih mudah untuk menciptakan
generasi yang sholih dan sholihah.
Dalam
berbagai kesempatan Rosululloh shollallohu alahi wa sallam menasehati kaum
laki-laki agar memilihkan ibu yang baik bagi anak-anak mereka. Beliau bersabda;
“Pilihlah
untuk sperma kalian tempat-tempat yang baik.”
Dalam
riwayat yang lain Rosululloh shollallohu alahi wa sallam bersabda:
“Pilihlah
untuk sperma kalian. Nikahilah orang yang cukup (baik agamanya) dan mintalah
menikah kepada mereka.” [HR. Ibnu Majah dan al Baihaqi]
Lebih
lanjut dalam sebuah kesempatan sayyidina Umar bin Khoththob rodliyallohu ‘anhu
pernah berkata, “hak pertama bagi seorang anak atas bapaknya adalah dipilihkan
untuknya ibu yang sholihah”.
Bagaimanakah
Ibu yang baik itu?
Saudaraku.
Setelah kita tahu bahwa ibu yang sholihah adalah faktor yang sangat penting
dalam menciptakan generasi yang sholih dan sholihah -tentu tanpa menafikan
peran seorang ayah-. Selanjutnya kita perlu mengkaji bersama, bagaimanakah
cirri-ciri atau tanda-tanda ibu yang baik –sholihah- itu?
Setidaknya
ada tiga hal yang menjadi ciri ibu yang baik. Pertama, baik agamanya. Kedua,
memiliki sifat yang lembut dan penyayang. Ketiga, gemar belajar.
Pertama,
wanita yang baik agamanya.
Nabi
Muhammad shollallohu alahi wa sallam bersabda:
Perempuan
itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan
agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia.
(Muttafaq Alaihi dan Imam Lima)
Dalam
hadits tersebut Rosulullah shollallohu alahi wa sallam menyampaikan bahwa biasanya
seorang wanita itu dinikahi oleh laki-laki karena empat perkara; harta, nasab
(keturunan), kecantikan, dan agamanya. Namun kemudian, Rosululloh shollallohu
alahi wa sallam memerintahkan kepada para laki-laki agar berusaha mendapatkan
dan memilih wanita karena ketaatan beragamanya, agar laki-laki dan wanita
tersebut berbahagia. (Hal ini tentu juga bermakna sebaliknya. Maksudnya,
hendaknya seorang wanita memilih laki-laki yang akan menjadi suaminya, teman
hidupnya, ayah anak-anaknya, dan pemimpin keluarganya, berdasarkan ketaatan
agamanya.) Inilah petunjuk nabawiy tentang kriteria seorang ibu yang baik,
yaitu taat beragama. Dalam pengertian wanita tersebut bukan hanya mengerti ilmu
agama Islam, namun juga mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
Sederhana
saja, jika ada seorang wanita yang tidak taat kepada Alloh ta’ala yang telah
menciptakannya, memeliharanya, mencukupi rezekinya, dan senantiasa mengawasinya
tanpa henti, maka besar kemungkinan wanita tersebut juga akan tidak taat kepada
suaminya.
Seorang
wanita yang taat beragama memiliki ciri-ciri; menutup dan menjaga aurot,
komitmen melaksanakan ibadah fardlu; misalnya sholat wajib dan puasa romadlon,
gemar melaksanakan ibadah sunnah; misalnya puasa sunnah dan shodaqoh, suka
membaca al-Quran, serta berperilaku baik. Seorang wanita seperti ini akan
sangat bermanfaat bagi anak-anaknya. Pada masa usia balita hingga sekitar 7
tahun, anak-anak belajar dengan cara meniru. Apapun yang dipelajari anak pada
usia ini –sebagian besar- akan masuk ke dalam memori jangka panjang dan menjadi
pedoman bagi anak dalam memandang segala sesuatu yang dia temui. Kita semua
tahu bahwa pada usia tersebut, orang yang paling banyak berinteraksi dengan
anak adalah ibu, kecuali jika sang ibu tidak mau mengasuh si anak. Jika pada
usia yang disebut sebagai Golden Age ini seorang anak mendapatkan pendidikan
agama yang baik, terutama melalui teladan, insyaalloh di masa
selanjutnya si anak lebih mudah belajar untuk menjadi seorang muslim yang kuat
imannya, cerdas akalnya, dan baik budi pekertinya.
Kedua,
wanita yang memiliki sifat lembut dan penyayang
Diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dari Sayyidah Aisyah rodliyallohu anha: bahwasanya Rosululloh
bersabda kepadanya, “Wahai Aisyah, bersikaplah lembut, karena sesungguhnya,
jika Alloh ta’ala menghendaki kebaikan pada suatu keluarga, maka Dia ilhamkan
kelembutan kepada mereka.”
Sifat
lembut adalah modal dasar dalam mendidik anak. Pada dasarnya setiap anak yang
lahir di dunia ini memiliki sifat lembut dan mereka cenderung suka kepada kelembutan.
Anak-anak suka kepada orang-orang yang lembut kepada mereka. Mereka tidak suka
orang-orang yang kasar. Sangat sulit –atau bahkan tidak mungkin- seseorang bisa
mendidik dengan baik, anak yang membencinya.
Allah
ta’ala pun Maha Lembut dan menyukai kelembutan dalam segala hal.
Nabi
Muhammad shollallohu alahi wa sallam bersabda; “Sesungguhnya Alloh Maha Lembut
dan menyukai kelembutan dalam segala perkara.” (Muttafaqun ‘alaihi dari
Sayyidah ‘Aisyah rodliyallohu anha)
Dalam
riwayat Imam Muslim dari Jabir bin Abdillah, beliau berkata. Aku mendengar
Rosululloh bersabda; “Barang siapa tidak dikaruniai kelembutan, maka dia tidak
dikaruniai seluruh kebaikan.”
Rosululloh
shollallohu alahi wa sallam memberikan contoh nyata bagaimana beliau senantiasa
bersikap lembut kepada anak.
Suatu
hari, Rosulullah shollallohu alaihi wa sallam didatangi seorang perempuan yang
bernama Sa’idah binti Jazi. Ia membawa anaknya yang baru berumur satu setengah
tahun. Rosul kemudian memangku anak tersebut. Tiba-tiba, si anak kencing
(mengompol) di pangkuan Rosulullah shollallohu alaihi wa sallam. Spontan, sang
ibu menarik anaknya dengan kasar. Seketika itu juga, Rosulullah shollallohu
alaihi wa sallam menasihatinya. “Dengan satu gayung air, bajuku yang
terkena najis karena kencing anakmu bisa dibersihkan. Akan tetapi, luka hati
anakmu karena renggutanmu dari pangkuanku tidak bisa diobati dengan
bergayung-gayung air,” ujar Rosul.
Selain
bersifat lembut, seorang ibu hendaknya juga memiliki jiwa yang penyayang.
Rosulullah
shollallohu alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya kamu bersikap lemah lembut,
kasih sayang, dan hindarilah sikap keras dan keji.” (HR Bukhari).
Menurut
berbagai referensi ilmu Psikologi, kebutuhan yang paling mendasar bagi seorang
anak adalah attachment atau kelekatan. Kelekatan ini bisa dibangun jika sang
pengasuh, terutama Ibu, memberikan rasa aman, kedekatan baik secara fisik
maupun emosi, dan kasih sayang yang cukup kepada anak. Anak yang mendapatkan
kelekatan seperti ini akan tumbuh menjadi anak yang sehat jiwa raganya serta
tangguh dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Ketika anak tumbuh tanpa
mendapatkan banyak kasih sayang dari orangtuanya, saat dewasa dia bisa
merasakan hidupnya penuh masalah. Begitulah pendapat dari Ratih Ibrahim yang
sudah lebih dari 20 tahun bekerja sebagai psikolog profesional.
Kenapa
anak menjadi durhaka kepada orang tua? Kemungkinan besar, tentu tanpa
mengesampingkan kehendak Alloh ta’ala, dikarenakan sang anak tidak cukup
mendapatkan rasa aman, kedekatan dan kasih sayang dari orang tua.
Nabi
shollallohu alaihi wa sallam. pernah ditanya, “Bagaimana seseorang membantu
anaknya supaya ia berbakti?”, Nabi shollallohu alaihi wa sallam berkata:
“Janganlah membebani dia dengan sesuatu yang melebihi kemampuannya, janganlah
memakinya, menakut-nakutinya dan menghinanya”.
Ketiga,
wanita yang gemar belajar
Di
dalam perjalanan kehidupan sebagai seorang pribadi, istri, dan ibu bagi
anak-anak, tentu seorang wanita akan menghadapi berbagai permasalahan. Jika
wanita tersebut gemar belajar, insyaalloh dia akan diberi kemampuan oleh Alloh
ta’ala untuk menyelesaikan permasalahannya dengan baik, dengan berdasar ilmu.
Abu
Sa’id berkata: “Seorang wanita datang menemui Rasulullah shollallohu alaihi wa
sallam., lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, kaum lelaki bisa berangkat
mendengarkan ucapanmu karena itu sediakanlah olehmu satu hari untuk kami yang
pada hari itu kami datang menemuimu sehingga engkau bisa mengajarkan kepada
kami apa yang telah diajarkan Allah kepadamu.’ Beliau menjawab: ‘Berkumpullah
kalian pada hari ini dan ini.’ Mereka pun berkumpul. Maka datanglah Rasulullah
shollallohu alaihi wa sallam ke tempat mereka, lalu mengajarkan kepada mereka
apa yang telah diajarkan Allah kepada beliau…” (HR Bukhari dan Muslim)
Al-Hafizh
Ibnu Hajar berkata: “Hadits tersebut menunjukkan betapa antusiasnya istri-istri
para sahabat untuk mempelajari masalah-masalah agama.” Benar, Mereka
betul-betul antusias, tidak merasa cukup dengan hanya mendengarkan
hadits-hadits bersama kaum laki-laki di masjid. Bahkan mereka menuntut disediakannya
waktu belajar khusus.
Dalam
riwayat yang lain Sayyidah Aisyah berkata: “Sebaik-baik wanita adalah wanita
Anshar. Mereka tidak terhalang oleh rasa malu dalam mendalami masalah agama.”
(HR Muslim)
Itulah
potret para wanita yang gemar belajar, wanita-wanita yang mulia, istri-istri
para sahabat Nabi Muhammad shollallohu alaihi wa sallam.
Namun
sebaliknya, jika seorang wanita malas belajar, maka dia akan kesulitan untuk
mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Mungkin saja dia berniat baik, namun
karena tidak berdasarkan ilmu yang benar, apa yang dilakukannya bukan
menyelesaikan masalah, justru memperbesar dan menambah masalah.
Sebuah
kisah. Ada seorang ibu yang sering berkata kasar dan kotor (misuh) kepada
anaknya. Ibu tersebut juga gemar mencubit dan memukul si anak. Ketika ditanya
mengapa dia melakukan hal seperti itu. Ibu tersebut menjawab, karena anaknya
nakal dan susah diatur. Ketika ditanya lagi, apa ibu yakin dengan berkata
kasar, mencubit, dan memukul si anak akan berubah menjadi anak yang baik dan
mudah diatur. Sang ibu pun menjawab, “ibuku dulu juga melakukan hal yang sama
kepadaku.”
Inilah
salah satu contoh seorang ibu yang mencoba menyelesaikan permasalahannya dengan
cara yang sama sekali tidak tepat. Jika ibu tersebut mau belajar bagaimana cara
mendidik anak yang baik, bukan hanya berdasarkan perlakuan orang tuanya dulu,
insyaalloh ibu tersebut akan mendapatkan ilmu bahwa anak tidak akan berubah
menjadi baik dengan perkataan kasar, cubitan, dan pukulan. Bukankah saat ini
banyak beredar buku-buku parenting yang dapat dengan mudah didapatkan di
toko-toko buku? Misalnya, “Yuk Menjadi Orang Tua yang Sholeh sebelum Meminta
Anak Menjadi Sholeh”; karya Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari, “Orang Tuanya Manusia”;
karya Munif Chatib, “Mengapa Anakku Suka Melawan dan Susah Diatur”; karya Ayah
Edy, “Alhamdulillah Anakku Nakal”; karya Miftahul Jinan, “Prophetic Parenting:
Cara Nabi shollallohu alaihi wa sallam Mendidik Anak”; karya DR. Muhammad Nur
Abdul Hafidz Suwaid, “Tarbiyatul Aulad”; karya DR. Abdullah Nashih Ulwan,
“Ushul at-Tarbiyyah an-Nabawiyah”; karya Prof. DR. Sayyid Muhammad bin Alawy al
Maliki, dan lain sebagainya.
Selain
itu. seorang ibu yang gemar belajar juga memiliki kesempatan dan kemungkinan
lebih besar untuk mendidik anaknya tumbuh menjadi orang yang gemar belajar,
insyaalloh. Bukankah anak-anak itu suka meniru orang-orang yang ada didekatnya?
Jika seorang anak tumbuh menjadi pribadi yang gemar belajar, insyaalloh, kelak
dia akan menjadi seorang yang ahli ilmu. Ilmu akan menjaganya, mengangkat
derajatnya, dan menghiasi kehidupannya, menjadi semakin baik, dan lebih baik.
Itulah
sekelumit pembahasan kami tentang petingnya peran seorang ibu dalam mendidik
anak. Melihat betapa beratnya tanggung jawab seorang ibu, maka pantaslah jika
ada ungkapan, “Surga di bawah telapak kaki ibu.” Nabi Muhammad shollallohu
alaihi wa sallam pun mendidik umat beliau agar memprioritaskan kepentingan ibu,
melebihi bapak. “Ibumu, ibumu, ibumu, kemudian bapakmu.”
Kami
berpesan kepada para orang tua; “Didiklah anak-anak perempuan Anda dengan baik.
Semoga kelak mereka melahirkan generasi muslim yang hebat, kuat imannya, cerdas
agamanya, dan mulia perilakunya.”
Hari
ini Tgl 20 Juni 2014 adalah awal dan akhir dari sebuah rutinitas sebagai wanita
berkarir dan mengabdi pada dunia KBM dan Awal dari sebuah perjuangan seorang
Ibu yang mengasuh,menjaga,merawat dan membimbing dedecq Reza Fahrezi
Hidayatullah..La-Tahzan..Semoga Allah selalu merahmati dan menolong bagi
hambanya setiap jalan usaha dan ibadahnya bunda.
Hilangkan
rasa sedih,kesal dan sebagainya..bukalah lembaran baru buat keluarga buat
dedecq buat semua yang membawa berkah bagi keluarga kita. Semoga kehidupan kita
jauh lebih baik dan berkah atas ridhaNya Amin amin yarabbalalamin.
Sayapun
berpesan kepada istriku sekaligus Ibu dari anak-anakku, “Belajarlah menjadi ibu
yang baik. Sungguh Engkaulah madrasah yang pertama dan utama bagi anak-anakmu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar